Pengajar di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang

Reimagine Museum Blikon Blewut: Rekonstruksi Kekatolikan di Flores dalam Wacana Kekuasaan

Senin, 3 Februari 2025 17:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Salah satu sisi ruang pameran keramik Museum NTB
Iklan

Masalah wacana hagemonik dan dominasi telah turut mempengaruhi diskursus tentang bagaimana menjembatani modernitas tanpa harus kehilangan identitas budaya

***

Ketegangan antara modernisasi dan pelestarian budaya menjadi tema sentral dalam diskusi mengenai misi Gereja Katolik di Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur. Misi yang dimulai pada abad ke-15 dengan kedatangan pastor-pastor Portugis, tidak hanya berfokus pada penyebaran iman Katolik tetapi juga pada pembangunan masyarakat melalui pendidikan dan kesehatan (Eka Putra Nggalu, 2022). Meskipun banyak perubahan positif yang dihasilkan, seperti pendirian sekolah-sekolah dan balai latihan kerja, ada risiko yang muncul yaitu nilai-nilai kekritenan Barat yang dibawa oleh misi  mendominasi bahkan menghapus tradisi lokal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Modernisasi yang dibawa oleh misi gereja membawa akses pendidikan dan layanan kesehatan yang sebelumnya tidak tersedia. Sekolah-sekolah selanjutnya dibangun untuk mendidik generasi baru, sementara unit-unit pelayanan kesehatan membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Masalah muncul saat masyarakat lokal dihadapkan pada dilema antara menerima manfaat modernitas dan pada saat yang sama tidak kehilangan identitas budaya seperti misalnya keprecayaan lokal.

 Masalah wacana hagemonik dan dominasi telah turut mempengaruhi diskursus tentang bagaimana menjembatani modernitas tanpa harus kehilangan identitas budaya. Dominasi agama Katolik yang kental di Flores kemudian dihadapkan dengan wacana identitas budaya yang perlahan luntur di masyarakat. Saat misi agama Katolik masuk beserta seluruh simbolnya, sebagaimana diungkapkan Geertz, kehadiran misi agama  ini tidak hanya  berfungsi sebagai sebuah sistem kepercayaan tetapi juga sebagai simbol yang membentuk makna dan identitas dalam masyarakat(Geertz, 1973). Kepercayaan lokal kemudian dianggap sebagai ancaman terhadap kehadiran yang suci(Riady, 2021). Misi kekatolikan lalu diwacanakan sebagai sesuatu yang lebih beradab dan suci dari pada kepercayaan lokal.

Tradisi kepercayaan masyarakat suku Krowe dikabupaten Sikka pulau Flores misalnya akan dipandang lebih rendah ketimbang tradisi  kekatolikan yang telah melembaga. Reimagine Museum Blikon Blewut kemudian menjadi alat untuk membaca wacana hagemonik yang telah ada semenjak kolonialisme dalam wujud agama Katolik hadir di Flores.

Kerja kuratorial Piet Petu, SVD, seorang imam katolik pribumi, pada awalnya  secara tegas ingin membangun museum Bikon Blewut sebagai contact zone. Ia ingin meretas pola-pola representasi yang kerap ditemui di museum-museum luar negeri yang dalam banyak kasus jatuh pada saintisme di satu kutub dan eksotisme di kutub yang lain(Eka Putra Nggalu, 2022).

Sebagaimana Talal Assad menyadari bahwa tantangan dalam memahami agama secara menyeluruh terlihat lewat kebutuhan untuk melihat agama tidak hanya dari perspektif Barat tetapi juga dari sudut pandang tradisi non-Barat. Hal ini dimaksudkan agar muncul pemahaman terhadap kompleksitas praktik keagamaan secara lebih baik. Dengan demikian maka kerja Kuratorial Piet Petu SVD adalah apa yang secara sadar dipresentasikan Asad, yaitu bahwa masyarakat perlu memahami tradisi keagamaan dalam konteks sejarah dan budaya mereka sendiri, bukan melalui lensa kategori yang ditetapkan oleh Barat.

Simbol Agama  bukan sekadar representasi dari realitas; melainkan merupakan bagian dari struktur sosial, politik, dan sejarah yang lebih kompleks. Dalam pandangannya, simbol adalah realitas itu sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari konteks di mana ia muncul (Talal Asad, 1993). Usaha Piet Petu SVD dalam membangun Museum Bikon Blewut disadari adalah sebuah upaya untuk mewacanakan pola struktur pengetahuan tandingan, yaitu  melihat tradisi dan praktek budaya serta keagamaan  masyarakat Flores dari lensa kategori masyarakat itu sendiri.

Museum Bikon Blewut muncul lewat kerja-kerja geologi, antropologi, dan etnologi yang dikembangkan dalam sejumlah  periode ekspedisi. Periode pertama dimotori oleh para misionaris asing yang turut memberi warna pada perkembangan teori-teori kebudayaan, mulai dari Dr. Th. Verhoeven, SVD; Paul Arndt, SVD; W. Koppers, SVD; M. Guisinde, SVD; W. van Bekum, SVD; dan P. Mommersteeg, SVD. Beberapa dari antara mereka adalah murid-murid awal Wilhem Schmidt (1868-1954), seorang pencetus teori difusi kebudayaan(IFTK Ledalero, 2021).

Kerja-kerja pengetahuan ini menurut King bukan sekadar studi tentang Timur, tetapi lebih merupakan konstruk sosial dan politik yang diciptakan oleh Barat untuk mendefinisikan diri mereka sendiri melalui perbandingan dengan yang lain, yaitu Timur. Dalam hal ini, Timur diposisikan sebagai eksotis dan inferior, yang menciptakan narasi yang mendukung dominasi Barat(Richard King, 1999). Wacana pengetahuan tandingan dalam konteks Museum Blikon Blewut  menjadi landasan  membangun narasi tandingan, sekaligus reproduksi pengetahuan baru  untuk mengakomodir isu modernisasi dan pelestarian budaya.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler